Oleh : Dr. Dudung Nurullah Koswara, M.Pd.
(Ketua Umum AKSI)
Dalam media cetak Kompas hari ini, 9 Desember 2025 hadir opini Menteri Agama dan Imam Besar Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Menarik dicermati dan tersambung dengan opini Kompas tanggal 28 Nopember 2025 karya Prof. Dr. Masdar Hilmy, guru besar UIN Sunan Ampel.
Dua cendikiawan di atas menulis tentang keber_agama_an kita sebagai umat Indonesia. Plus terkait bagaimana sejatinya layanan pendidikan pada umat beragama Indonesia dan warga negara Indonesia. Mengingat keragaman SARA dan realitas diferensiatif lainnya di umat Indonesia, dua guru besar di atas mengusung spirit cinta.
Cinta adalah kebutuhan semua umat manusia. Semua agama membawa misi cinta. Diantara narasi yang mereka sampaikan adalah keberadaan agama dan negara harus baik dan terbaik. Pastikan bahwa agama dan negara “hadir” untuk umat/masyarakatat. Meletakan umat manusia/masyarakat di atas negara dan agama.
Bila kita tangkap substansi dari narasi di atas menjelaskan bahwa agama dan negara harus berkhidmat pada masyarakat. Meletakan kemanusiaan, kesejahteraan bersama di atas “kepentingan” agama dan negara. Kedaulatan ada di tangan rakyat/masyarakat bukan di negara atau agama.
Faktanya memang terang benderang bahwa agama adalah untuk manusia, bukan manusia untuk agama. Faktanya memang jelas bahwa negara hadir untuk masyarakat bukan masyarakat untuk negara. Meletakan cinta dan kesejahteraan bersama yang universal di atas d realitas agama dan negara sangatlah utama.
Kepentingan pribadi, kelompok dan aliran tertentu tidak lebih utama dari kepentingan kebangsaan dan kemanusiaan. Tentu saja dengan tetap menjaga, menghormati dan memuliakan sesama umat yang beda SARA. Perbedaan itu realitas, saling melayani dan memuliakan itu di atas realitas perbedaan.
Prof. Nasaruddin Umar mengatakan hukum agama (syariah) dan hukum nasional (wadhiyah) adalah dualitas hukum yang harus ditaati oleh masyarakat. Sebaliknya dua realitas hukum ini adalah untuk kepentingan masyarakat. Faktanya memang tak mudah bagi masyarakat untuk memiliki loyalitas tunggal pada entitas nilai yang berbeda.
Bagi Prof. Nasaruddin Umar sejarah membuktikan “Dengan komando Allahu akhbar kaum penjajah kalang kabut”. Namun disisi lain entitas agama pun membawa soalan tak mudah. Bagaimana sejarah Poso, Ambon dan Sampit. Ketika sejumlah entitas berkonflik dengan mengagungkan nilai dan dogma masing masing yang tak sama, sangatlah tak mudah direkonsili.
Prof. Nasaruddin Umar dan Prof. Masdar Hilmy setuju bahwa pendekatan cinta harus menjadi arus utama dinamika nilai dan sosialita kehidupan umat Indonesia. Moderasi beragama dan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagaimana sedang digagasbumikan oleh Kemenag harus “merambah” pada semua level kepentingan lembaga/organisasi dan umat Indonesia.
KBC mengusung spirit berikut; 1) tidak mengedepankan perbedaan, 2) menghormati dan memuliakan saudara beda agama, 3) tidak proklamatif sebagai satu satunya agama yang benar, 4) tidak menghakimi atau menganggap sesat agama yang lain, 5) semua orang adalah saudara, satu udara beda rumah imanik.
KBC versi Prof. Masdar Hilmy menekankan pada lima hal penting. Lima hal penting itu adalah : pertama cinta pada Tuhan yang maha love, dua cinta pada diri sendiri dan sesama, tiga cinta ilmu pengetahuan, empat cinta lingkungan dan lima cinta bangsa dan negara. Cinta pada Tuhan, sesama, lingkungan dan kebangsaan adalah intinya.
KBC implementasinya membutuhkan dan memerlukan relasi yang lebih egaliter antara pendidik dan anak didik. Murid dan guru sejatinya egaliter sebagai sesama murid semesta yang sedang belajar. Basis kesadaran dan energi cinta sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan yang sederajat menjadi modal saling memuliakan dan mencintai.
KBC versi Kemenag yang dimotori oleh Prof. Nasaruddin Umar dan Prof. Masdar Hilmy adalah diantara upaya para cendikiawan puncak yang punya otoritatif dalam mendesign umat Indonesia ke depan agar terhindar dari sejumlah soalan yang menjauh dari kemanusiaan manusia.
Faktanya intoleransi, radikalisme dan terorisme masih menjadi bagian dari sisi sisi kehidupan umat Indonesia. Moderasi beragama, KBC dan penguatan ideologi Pancasila harus terus dikuatumbuhkan dalam kehidupan sehari hari umat Indonesia. Mengapa? Keragaman SARA di umat Indonesia tanpa penguatan basis cinta dan saling memuliakan berisiko konflik.
EN
ID
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!